Jakarta –
Data perekonomian Amerika Serikat (AS) menguat di awal tahun 2024. Data ketenagakerjaan dan inflasi lebih kuat dari perkiraan. Hal ini menandakan bahwa The Fed tidak terburu-buru untuk menurunkan suku bunganya.
Samuel Kesuma, Senior Portfolio Manager, Equity, PT Manulife Asset Management Indonesia (MMI), mengatakan data ekonomi AS yang lebih kuat dari perkiraan telah membalikkan ekspektasi pasar.
“Ekspektasi pasar terhadap penurunan Fed Funds Rate (FFR) pada tahun 2024 mengalami penurunan dari 150 bps menjadi 85 bps di awal tahun, sehingga akan lebih sesuai dengan perkiraan dot plot The Fed. Hal ini akan menimbulkan volatilitas di pasar global. seiring dolar kembali menguat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (15/3/2024).
iklan
Gulir untuk melanjutkan konten.
Namun situasi ini tidak mengubah pandangan The Fed yang menyatakan kemungkinan penurunan suku bunga pada tahun ini. Samuel menambahkan, penurunan suku bunga The Fed pada tiga siklus sebelumnya berdampak positif terhadap indikator makro dan pasar keuangan Indonesia. Siklus pemangkasan suku bunga The Fed pada tahun ini diperkirakan akan memberikan hasil serupa bagi Indonesia.
Jika ditilik, situasi inflasi dalam negeri yang terkendali membuka ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga. Memang benar, dalam jangka pendek, BI diperkirakan akan mempertahankan sikap pro-stabil dengan mempertahankan suku bunga acuan sebesar 6%.
Kemungkinan tetap terbuka bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga dan mengubah kebijakan moneter ke arah yang lebih pro-pertumbuhan ketika terdapat tanda-tanda jelas akan meredanya volatilitas mata uang.
Pelonggaran moneter mendorong normalisasi likuiditas dalam negeri, sedangkan di masa lalu, untuk menjaga stabilitas eksternal, BI telah melakukan pengetatan likuiditas. Perubahan ini diperkirakan terjadi bersamaan dengan pelonggaran suku bunga The Fed. Likuiditas yang membaik memberikan dukungan yang lebih baik terhadap aktivitas perekonomian dan sentimen di pasar keuangan. Selain kebijakan suku bunga, BI diasumsikan dapat melonggarkan kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen kebijakan non-bunga seperti penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebelum menurunkan suku bunga. Secara historis, penurunan GWM telah terjadi sebelum siklus penurunan suku bunga BI seperti pada tahun 2015 dan 2019.
“Likuiditas yang lebih baik dan pilihan yang lebih aman diharapkan dapat membantu penguatan pasar saham Indonesia secara lebih berkelanjutan. Optimisme terhadap peningkatan aktivitas perekonomian dan kondisi keuangan yang lebih baik diharapkan dapat meningkatkan arus masuk investor domestik dan investasi ke pasar saham Indonesia,” kata Samuel .Dia menjelaskan.
Di tengah perubahan kondisi global, investor disarankan untuk menjaga posisi seimbang dalam konstruksi portofolio, menggabungkan potensi katalitik jangka pendek, potensi defensif dan potensi struktural jangka panjang.
Dalam jangka pendek, sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga meliputi perbankan, properti, menara telekomunikasi, dan konsumen non-inti.
Untuk strategi defensif, sektor telekomunikasi menjadi pilihan karena karakteristik industrinya yang cenderung resisten, mengingat informasi merupakan kebutuhan pokok dan emiten mempunyai kemampuan untuk berkinerja baik. Tentang potensi pertumbuhan struktural, sektor terkait bahan baku untuk industri energi baru dan terbarukan. Transisi ke era karbonisasi penting bagi Indonesia yang kaya akan komoditas yang digunakan dalam teknologi energi baru terbarukan.
(acd/das)
Sumber: https://finance.detik.com/finansial