mandela-corp.blogspot.com – “Orang bilang bumi kita adalah surga, tapi tongkat dan batu menjadi tanaman.” Konon menyanyikan bait-bait lagu lawas di Kois Place merupakan bentuk rasa syukur terhadap sumber daya alam yang dimiliki ibu pertiwi. Tak heran jika Indonesia dijuluki sebagai negara agraris.
Namun kenyataannya, rasa cinta terhadap ibu pertiwi belum bisa sepenuhnya menjangkau pelosok-pelosok yang terisolir dari laut. Mahalnya harga bahan pokok masih menjadi permasalahan mendasar di pulau-pulau yang terletak di wilayah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T) NKRI.
Misalkan salah satunya ada di Pulau Maratu. Terletak di wilayah Kalimantan Timur, pulau terluar ini menjadi destinasi wisata dengan keindahan alam yang melimpah. Namun sayangnya, harga komoditas masih menjadi tantangan. Ini termasuk produk beras.
“Beras itu mahal sekali, sering mendapat bantuan Beras Bulog. Beli di sini, sekarang Rp 400.000 per karung (25 kg). Kaltim.Mediumnya nasi, kata Bertie, ditulis di Pulau Maratu, Senin (4/3/2024).
Kondisi tak jauh berbeda dialami masyarakat Pulau Bunu, salah satunya Usni. Menurut dia, harga beras di sana berkisar 19.000-20.000 birr per kilogram. Dengan harga telur yang sama, sepiring berisi 30 butir telur dijual seharga 63.000 Birr atau Rp 2.500 per butir.
“Di sini masih murah (sayuran). Harganya Rp 20.000 untuk satu kilo beras, ada yang Rp 19.000 per kilo, di toko-toko di sini. Semangkuk telur Rp 63.000 untuk 30 orang,” kata Usni.
Hal ini dibenarkan oleh Alio Lanta, Kepala Desa Bunyu Selatan. Pulau Bunyu masih mengandalkan pasokan dari Surabaya untuk memenuhi kebutuhan pangan khususnya beras. Sebab, harga beras di sana sangat mahal. Harganya berkisar Rp 18.000-20.000.
“Kadang minyak goreng asal Malaysia yang dua liter atau satu liter itu biasa. Harganya lebih murah karena transportasi, selisihnya paling 2.000-3.000 rupiah. Dari Malaysia (harga minyak) sekitar Rp 15.000 -16.000. Indonesia sekitar Rp adalah “Rp. 18.000. Kadang-kadang orang membawa ikan ke Malaysia dan membawanya pulang,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, menurut catatan Detikcom, harga beras premium di pasaran saat ini Rp 15.000/kg dan beras medium Rp 13.000/kg. Sedangkan rata-rata harga beras di pulau-pulau di atas berkisar Rp18.000-20.000. Jadi, ada selisih sekitar Rp 5.000-7.000.
Tak hanya beras, harga ikan juga sangat mahal, terutama untuk ekspor ke Malaysia. Ikan yang paling banyak diekspor antara lain tuna, tuna, dan kerapu. Harganya bisa mencapai Rp 61.000-62.000 per kilogram.
RI Rice kalah telak melawan Malaysia
Sekitar 70 km dari Pulau Bunyu terdapat Pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Meski memiliki kesamaan, masyarakat di pulau ini menghadapi keadaan yang sedikit berbeda. Harga bahan pokok seperti beras dan minyak yang diimpor dari Malaysia jauh lebih murah dibandingkan dari Indonesia sehingga membuat masyarakat dilema.
Muliati merupakan salah satu warga yang kerap membeli beras Malaysia untuk tokonya. Ia memiliki warung makan di dekat perbatasan, bahkan hanya berjarak 5 meter dari perlintasan perbatasan Indonesia-Malaysia.
“Lebih mudah, sederhana, murah dari Malaysia. Beras di Tawau 27 ringgit, 60 sen, 90 ribu (per 10 kg), bahkan tidak sampai Rp 100.000. Sedangkan di sini (Indonesia) harganya sekitar Rp 130.000,” Muliati dikatakan.
Menurutnya, sebagian besar masyarakat perbatasan lebih memilih produk sembako lainnya seperti minyak, sayur mayur, buah-buahan, dan makanan beku asal Malaysia karena aksesibilitas dan pasokannya lebih cepat dibandingkan produk Indonesia di wilayah lain.
Hal serupa disampaikan Neelam, salah satu pemilik toko kelontong di Pulau Sebatik. Meski jarak toko 1-2 km dari perbatasan, transaksi menggunakan ringgit tetap dilakukan karena produk sembako Malaysia lebih laku. Jadi rata-rata toko di daerah tersebut juga menjual produk Malaysia karena tingginya permintaan.
“Hampir semua, rata-rata toko juga menjual produk Malaysia seperti minyak goreng, di sana lebih murah. Harganya hanya Rp 16.000. Sedangkan untuk produk Indonesia sekitar Rp 20.000. Bedanya jauh sekali,” kata Nila.
Kondisi yang dihadapi di pulau-pulau terpencil di Republik Indonesia kadang-kadang dianggap normal, dan terbatasnya akses menjadi tantangan besar mengingat letaknya yang terpencil. Dengan demikian, biaya logistik pengiriman pasokan bahan pokok menjadi penyebab mahalnya biaya kebutuhan pokok di kawasan perbatasan.
Hal tersebut didukung pernyataan Wakil Gubernur Nunukan, Kalimantan Utara, Hanafiah. Akses logistik telah menjadi salah satu pekerjaan rumah terbesar sejak lama. Jika permasalahan ini tidak diatasi, maka akan sulit mengurangi permintaan masyarakat terhadap produk Malaysia.
“Sebenarnya kalau saja masyarakat dari dalam negeri atau dari Indonesia membantu mengatasi masalah kebutuhan pokok dan sebagainya dalam jumlah yang cukup, tentu masyarakat tidak punya pilihan. Namun jika hal tersebut tidak bisa dipenuhi, tentu solusinya adalah dengan temukan. Di tempat lain ini adalah teori sederhana” sebenarnya. hukum ekonomi. Ya, kita tidak bisa menyalahkan masyarakat karena mereka sangat membutuhkannya saat itu dan harus cepat. Sembako tidak bisa ditunda,” kata Hanafia.
Selain itu, dibangunnya tol laut hingga ke Pulau Sebatik membuat harga beras bisa lebih murah dibandingkan pulau lainnya. Namun, menurut Hanafia, terbatasnya frekuensi pengiriman pulang pergi ke luar pulau juga menjadi tantangan lain.
“Frekuensinya masih terbatas dan ada juga yang mengeluh kalau barang datang ke sini mungkin terlalu banyak. Tapi kalau pulang, muatan dari daerah tujuan kurang dari itu. Ini sangat-sangat bertolak belakang. Padahal pengangkutnya biasanya barang, “apalagi banyak barang yang berangkat. Mereka seharusnya. Jadi, sekarang kami akan menemukan solusi bagaimana menghadapi hal semacam ini.”
Permintaan masyarakat terhadap produk Malaysia dan masuknya ringgit ke Pulau Sebatic pada akhirnya tak terhindarkan. Situasi ini memberikan tantangan serius dalam menjaga kedaulatan atas pulau-pulau di kedua negara tersebut.
Makanya kita yakin bisa memenuhi arus kebutuhan pokok kembali ke negara kita. Kita pastikan harganya murah, terjangkau sehingga transaksi di (kawasan Pulau Sebatik) tidak bisa transaksi ringgit, mereka harus dalam rupiah,” tutupnya.